Indikasi Rujukan ke Neurointervensi

Dalam praktik klinis neurologi, rujukan pelayanan penyakit serebrovaskular ke bidang neurointervensi diprediksikan akan semakin banyak kedepannya, seiring semakin banyaknya hasil uji klinis, berkembangnya teknik intervensi baik dengan bertambahnya kateter/device baru dan ketersedian Cath lab di Rumah Sakit. Dahulu beberapa penyakit yang mustahil ditatalaksana, sekarang menjadi mampu untuk diterapkan. Sebagai contoh penemuan flow diverter yang mampu menutup aneurisma intrakranial dengan leher lebar yang tidak mungkin dilakukan melalui coiling atau clipping. Trombektomi mekanik yang telah terbukti memliki luaran yang lebih baik dibandingkan hanya dengan pemberian rt PA (Alteplase) saja. Serta tidak menutup kemungkinan dimasa depan akan semakin populernya pemberian neuroprotektor secara intravena.

Berikut beberapa kasus-kasus stroke atau serebrovaskular yang membutuhkan suatu prosedur neurointervensi:

  1. Perdarahan subarachnoid (SAH) karena ruptur aneurisma. Pasien dengan SAH pada gambaran CT scan seyogyanya harus segera disingkirkan suatu aneurisma, baik dengan CTA, MRA atau DSA. Bahkan pada pasien dengan gejala khas SAH, namun hasil CT scan normal, anaurisma harus dieksklusi. Jika hasil DSA pada akhirnya normal, maka pemeriksaan DSA kembali boleh dilakukan setelah beberapa minggu. DSA memliki kelebihan, selain sensitivitas dan spesifitas yang baik dalam menilai aneurisma, dapat dilakukan tindakan coiling segera jika terindikasi. Secure aneurisma (coiling) seharusnya dilakukan dalam rentang 24 jam ketika pasien tiba di IGD atau 72 jam sejak ruptur.
  2. Stroke iskemik akut. Stroke iskemik, baik pada fase akut atau kronik dapat menjadi kandidat untuk suatu prosedur neurointervensi. Pada fase akut dengan onset 6 jam dapat dilakukan trombektomi mekanik, pada DAWN atau Defuse 3 trial, bahkan trombektomi bisa dilakukan dalam rentang waktu 6-24 jam setelah onset.  Pada kriteria MR CLEAN-LATE, trombektomi dapat memberikan manfaat hingga 24 jam dengan menilai adanya kolateral pada angiografi.
  3. Perdarahan intraserebral (ICH) sekunder (malformasi vaskular). Pasien dengan ICH dapat dikarenakan hipertensi/primary ICH atau dikarenakan penyebab sekunder (misal: anaurisma, AVM atau Fistula). Indikasi angiografi pada ICH adalah: Lokasi perdarahan bukan tipikal hipertensif (biasanya di basal ganglia dan pons), usia muda, perdarahan berulang, dan tidak ada riwayat hipertensi/penggunaan antikoagulan. Pasien dengan lokasi ICH yang tipikal dan riwayat hipertensi yang jelas umumnya dapat dianggap sebagai primary ICH dan tidak peru dilakukan DSA. Dengan mengetahui adanya suatu malformasi vaskular maka dapat dipertimbangkan tindakan neurointervensi seperti embolisasi.
  4. Aterosclerosis occlusive disease. Ateroskleoris sebagai salah satu mekanisme stroke yang penting, secara angiografi dikenal sebagai stenosis. Stenosis akan didapatkan dari hasil pemeriksaan transcranial doppler (TCD), carotid duplex (CD) ataupun pemeriksaan Angiografi seperti CTA, MRA, dan DSA. Gold standard untuk menilai derajat stenosis adalah DSA. Stenting ataupun angioplasti (ballon) pada arteri karotis komunis/karotis interna diindikasikan pada (1) Pasien simtomatik dan stenosis >50%  pada angiogram atau ultrasound (2) Pasien asimtomatik dengan stenosis >80% pada angiogram atau ultrasound. Sehingga penting mengetahui kondisi pembuluh darah otak dengan TCD/CD, CTA, MRA atau DSA pada pasien pasca stroke.

Selain diatas, terdapat beberapa kondisi yang membutuhkan prosedur neurointervensi, seperti kelaianan vena serebral, gejala vertigo dengan kecurigaan kelainan arteri vertebralis, AVM di spinal, epistaksis, nyeri kepala kronik yang yang belum bisa dijelaskan.

Bagi pembaca yang tertarik untuk melihat sejarah dan tokoh yang berperan dalam perkembangan awal neurointervensi dapat melihat artikel Biografi Egaz Moniz.

Referensi

Harrigan et al. Handbook of Cerebrovascular Diseases and Neurointerventional Technique. Third Edition: 2018. Humana Press.

Comments:

Your email address will not be published. Required fields are marked *